PBB Desak Larangan Serangan Nuklir terhadap Kota
Roger Hamilton-Martin
PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA(IPS) – KELOMPOK masyarakat sipil mendesak Sidang Umum PBB mengeluarkan resolusi yang menyatakan serangan nuklir terhadap kota merupakan pelanggaran hukum kemanusiaan internasional yang jelas dan nyata. – Suara Perempuan Papua,
Dalam Konferensi Wina mengenai Dampak Kemanusiaan Senjata Nuklir pada 8-9 Desember lalu, para pendukung usulan resolusi itu berpendapat bahwa setelah Hiroshima dan Nagasaki, tak dapat dipungkiri ledakan senjata nuklir di wilayah perkotaan akan menimbulkan kehancuran di luar batas yang bisa diterima manusia.
“Ada lebih dari 6.000 kota yang menjadi anggota kampanye kami yang disebut Cities Are Not Targets! (Kota Bukanlah Target!) menyatakan adalah ilegal menyasar kota dengan senjata nuklir,” kata Aaron Tovish, direktur kampanye Mayors for Peace.
“Inisiatif untuk menekan badan-badan PBB secara eksplisit melarang perilaku semacam itu sangatlah berarti,” dia mengatakan.
Para penyokong menegaskan, mengangkat isu itu akan memunculkan sejumlah realitas ke dalam perdebatan tentang ancaman senjata nuklir. Selain itu, resolusi Sidang Umum PBB yang menyerukan agar Dewan Keamanan menyetujui pelarangan penggunaan senjata nuklir di wilayah perkotaan di bawah hukum kemanusiaan internasional (IHL) bisa menjadi langkah praktis dan nyata untuk mengintensifkan pelucutan senjata nuklir.
Jonathan Granoff, kepala Global Security Institute, mengatakan penggunaan senjata nuklir untuk kepentingan lain juga melanggar hukum internasional namun mestinya tak perlu dipertanyakan bahwa merusak kota adalah ilegal.
Granoff mengatakan kepada IPS, “Sementara menunggu pengesahan pelarangan, konvensi, atau instrumen kerangka kerja yang mengarah pada pelucutan senjata nuklir, yang diperlukan sesuai janji-jani yang dibuat negara-negara bersenjata nuklir di bawah Perjanjian Nonproliferasi Nuklir dan putusan Mahkamah Internasional, langkah ini akan membuat kita sedikit lebih aman dan mengurangi status politik dari alat mengerikan ini.”
Apa resolusi yang dibutuhkan?
Dalam beberapa tahun terakhir, menjadi jelas bahwa kegagalan memenuhi kemajuan yang dijanjikan terkait pelucutan senjata nuklir disebabkan kebijakan keamanan yang berurat-akar dan tampaknya tak mungkin berubah.
Presiden AS Barack Obama dan Sekretaris Jendral PBB Ban Ki-moon telah meningkatkan harapan lebih lanjut soal pelucutan senjata nuklir, namun menguap begitu saja karena nyatanya negara-negara bersenjata nuklir terus memodernisasi atau mengembangkan persenjataan mereka, atau melakukan keduanya.
Negara-negara bersenjata nuklir setuju bahwa hulu ledak adalah jahat (dan seringkali mengakui punya tanggungjawab hukum untuk melucutinya). Namun para pengkritik mencatat, dalam sebuah tindakan dari sikap tak konsisten yang akut, negara-negara ini secara bersamaan mengedepankan apa yang mereka anggap baik karena mereka memerlukannya untuk tujuan pencegahan dan stabilitas strategi, gangguan yang bisa berakibat buruk.
Jadi, selama mereka ada, negara-negara ini menyatakan, taruhlah kepercayaan pada mereka.
China, Rusia, Inggris, Amerika Serikat, dan Prancis menyepakati bahwa mereka punya tanggungjawab legal untuk pelucutan senjata, berdasarkan Perjanjian Nonproliferasi 1970.
India telah menyerukan perundingan dalam Konferensi Pelucutan Senjata di Jenewa mengenai sebuah perjanjian universal dan tidak diskriminatif untuk menghapuskan senjata nuklir dan Pakistan telah menyatakan akan mengikuti proses tersebut. Israel tak menyatakan apapun.
Pada 2000, 13 langkah telah disepakati untuk bergerak menuju pelucutan senjata nuklir –dan kemudian pada 2010, 64 komitmen tambahan dibuat oleh 188 negara.
Namun kendati tak ada realisasi dari langkah maju ke arah pelucutan senjata nuklir, negara-negara bersenjata nuklir menegaskan bahwa setiap usaha lain untuk mendelegitimasi, melarang, dan menghapus hulu ledak adalah sebuah perbuatan yang menganggu.
Para pendukung resolusi seperti Granoff melihatnya sebagai sebuah langkah maju untuk keluar dari situasi ini.
Granoff mengatakan, “Orang-orang yang tak kenal kompromi menuntut pelarangan senjata sepenuhnya, dan ‘langkah maju’ menuju pelucutan senjata tak bisa diganggu-gugat. Akankan memajukan IHL membantu kedua proses ini? Akankah ia memberi dorongan menuju sebuah pelarangan ujicoba, bahan fisil, dan mengurangi persenjataan?”
Menolak Usulan
Usulan itu kemungkinan menghadapi penolakan kuat dari negara-negara bersenjata nuklir dan dengan alasan “payung pencegahan” (negara-negara ini bergabung menjadi sebuah kekuatan nuklir yang mengklaim dilindungi dengan afiliasi ini).
Berbicara kepada IPS, mantan wakil oditur umum, Mayor Jenderal Angkatan Udara AS Charles Dunlap Jr. meragukan kemajuan resolusi semacam itu.
Dunlap, yang tetap menolak pertanyaan apakah ada sebuah larangan yang otoritatif tentang penggunaan senjata nuklir dalam IHL, mengatakan, “Kedengarannya seolah-olah Mr Granoff mengasumsikan bahwa IHL yang berlaku untuk penggunaan senjata konvensional akan secara otomatis berlaku pula untuk penggunaan senjata nuklir. Ini tak benar.”
“Faktanya, bahkan beberapa negara yang menyokong (sementara AS dan beberapa negara bersenjata nuklir lainnya tidak) Protokol Tambahan 1 Konvensi Jenewa (yang berisi aturan-aturan target) menyatakan keberatan terhadapnya karena ia tidak mengatur penggunaan senjata nuklir.”
Alyn Ware dari World Future Council menolak klaim bahwa IHL tak berlaku untuk senjata nuklir. “Mahkamah Internasional menegaskan pada 1996 bahwa hukum perang, dan khususnya hukum kemanusiaan internasional, berlaku untuk senjata nuklir. Negara-negara Bersenjata Nuklir menerima ini, dan menegaskan lagi dalam dokumen final Konferensi Peninjauan Ulang Perjanjian Nonproliferasi Nuklir pada 2010; “perlu bagi semua negara selalu mematuhi hukum internasional yang berlaku, termasuk hukum kemanusiaan internasional.”
Ware berpendapat, IHL membuat setiap penggunaan senjata nuklir adalah ilegal. “Senjata nuklir memiliki dampak ledakan yang jauh lebih besar daripada senjata konvensional. Dampak ledakannya tak terbatas pada target militer tertentu. Jika ledakan nuklir jauh dari wilayah perkotaan, beberapa mungkin berpendapat bahwa penggunaannya tidak bertentangan dengan IHL, meski akan tetap ada dampak luas dari debu radioaktif… namun Anda tak bisa memakai argumen ini ketika senjata nuklir ditujukan pada aset-aset militer di dalam atau dekat wilayah perkotaan.”
Ware mendukung usulan tersebut, namun menambahkan ada inisiatif pelengkap lainnya untuk memperkuat larangan penggunaan senjata nuklir yang juga menimbulkan gesekan, seperti penegasan tak akan digunakan terhadap bukan pengguna (dikemukakan Presiden Obama) dan perjanjian global yang melarang penggunaaannya.
IPS berbicara dengan mantan pejabat senior urusan politik di Kantor Ms. Angela Kane, Perwakilan Tinggi untuk Urusan Pelucutan Senjata di PBB, Randy Rydell, yang mengatakan, “Kekuatan nuklir hampir dipastikan mencoba bersiasat terhadap kampanye kemanusiaan ini dengan mengalihkannya ke arah “pengawasan senjata” –yakni, kita perlu meningkatkan pengawasan dan keamanan nuklir serta “menjauhkan mereka dari tangan yang salah.”
Kedua argumen itu mengalihkan perhatian dari risiko nyata senjata ini, di “tangan” siapa pun.*
Translated by Imam Shofwan
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini diterbitkan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS